Rabu, 06 November 2013

Dapatkah Mereka Diselamatkan dari KEPUNAHAN?


PADA 2002, PBB menargetkan bahwa pada akhir dasawarsa itu, tingkat kepunahan berbagai spesies dan kerusakan ekosistem sudah akan berkurang. Seiring dengan tujuan tersebut, tahun 2010 ditetapkan sebagai Tahun Keanekaragaman Hayati Internasional.

Patut disayangkan, ketika tahun itu tiba, tujuan tersebut belum kunjung terwujud. ”Sebagai akibat langsung dari kegiatan manusia,” lapor BBC, ”laju kepunahan berbagai spesies 1.000 kali lebih cepat daripada rata-rata laju kepunahan yang alami.” New Zealand Herald menyatakan dengan lebih spesifik lagi, ”Satu dari lima tanaman, satu dari lima mamalia, satu dari tujuh burung juga satu dari tiga amfibi di seluruh dunia kini terancam punah.” Salah satu penyebabnya akan jelas jika kita memerhatikan apa yang terjadi selama berabad-abad di Selandia Baru.

Keanekaragaman Hayati di Selandia Baru
Sebelum dihuni manusia, ekosistem di Selandia Baru subur permai.Namun, para pemukim masa awal memperkenalkan berbagai spesies yang berdampak buruk atas hidupan liar setempat. Misalnya, orang Maori melintasi Lautan Pasifik dengan membawa serta anjing dan barangkali tikus ladang (atau, tikus kiore), yang dimanfaatkan sebagai makanan.

Lalu, pada abad ke-17 dan ke-18, tibalah orang Eropa, dan tiba pula tikus rumah, mencit, dan kucing—yang tak lama kemudian menjadi kucing liar. Orang Eropa juga melepaskan kambing, babi, dan rusa yangmenjadi sumbermakanan hewani. Pada abad ke-19, mereka mendatangkan posum ekor-sikat dan kelinci—untuk dikonsumsi dagingnya dan dimanfaatkan bulunya—tanpa memikirkan dampaknya terhadap pohon, burung, dan tumbuhan.

Pada 1860-an, populasi kelinci menjadi tak terkendali sehingga didatangkanlah cerpelai. Tetapi, cerpelai lebih suka memburu burung-burung setempat yang jauh lebih lambat dan lebih mudah ditangkap. Akibatnya, populasi kelinci terus melonjak.

Akibat dampak kumulatif hama mamalia, Departemen Konservasi Selandia Baru kini melaporkan bahwa, 9 dari 10 anak kiwi cokelat yang lahir di alam liar saat ini akan mati sebelum berusia setahun. Banyak spesies sudah benar-benar punah: burung, lebih dari 40; katak, 3; kelelawar, 1; dan kadal, sedikitnya 3—juga banyak spesies serangga. Lebih dari separuh jenis tanaman dan binatang asli Selandia Baru yang berjumlah 5.819 tergolong hampir punah, sehingga kehidupan liar di negeri ini termasuk yang paling terancam di planet kita.


Upaya-Upaya Positif
Lembaga-lembaga pemerintah kini sangat awas dalam mencegah masuknya spesies tanaman dan binatang yang membahayakan ke Selandia Baru. Departemen Konservasi juga telah melakukan banyak upaya untuk membasmi berbagai spesies hama, khususnya di pulau-pulau, serta mendirikan cagar-cagar alam.

Salah satunya adalah Pulau Tiritiri Matangi, di lepas pantai Semenanjung Whangaparaoa, Auckland. Setelah pembasmian tikus pada 1993 dan penanaman kembali sekitar 280.000 pohon asli pulau ini, kawasan itu sekarang ditetapkan sebagai cagar alam terbuka tempat para pengunjung bisa mendengar dan melihat burung-burung langka yang telah dikembalikan ke habitat asli mereka, seperti tieke, takahe, kokako, titipounamu, dan hihi. Karena merasa aman di lingkungan yang bebas dari hewan pemangsa, makhluk-makhluk indah ini bisa diamati dari dekat.




Baru-baru ini, proyek pemulihan besar-besaran dilakukan di Pulau Rangitoto, Pulau Motutapu, dan Teluk Hauraki di Auckland. Tujuan proyek ini untuk melindungi hutan pohon Pohutukawa dan untuk mengembalikan hidupan liar ke habitat aslinya. Setelah beberapa hama—antara lain kelinci, cerpelai, landak, kucing liar, tikus got, tikus rumah, dan mencit—diberantas, ditemukan lagi parkit jambul-merah dan burung korimako di pulau itu setelah menghilang seabad lamanya!

Contoh-contoh ini menunjukkan apa yang bisa dilakukan untuk memulihkan berbagai spesies yang terancam dan untuk mengatasi perlakuan yang picik terhadap lingkungan di masa lalu.

MEMANFAATKAN SUMBER DAYA DENGAN BIJAKSANA
Tantangan yang dihadapi para pelestari alam di seluruh dunia adalah menanggulangi ancaman kepunahan banyak spesies dengan sumber daya yang terbatas. Salah satu pendekatannya disebut triase konservasi, yang didasarkan pada prinsip penilaian kegawatan yang dipraktekkan di ruang-ruang gawat darurat rumah sakit di seluruh dunia. Pendekatan ini, yang juga disebut triase ekologi, berupaya mengelola sumber daya agar mendapatkan hasil terbaik, dengan mempertimbangkan faktor faktor seperti (1) nilai suatu spesies atau habitat, (2) peluang kesuksesan dari tindakan yang diusulkan, dan (3) biaya yang tercakup. Meski tidak semua orang setuju dengan pendekatan ini, para pendukungnya mengatakan bahwa hal itu turut mendayagunakan sumber daya yang terbatas, memusatkan perhatian pada hasil terbaik yang bisa dicapai.



Sumber : 2013. Menara Pengawal. Edisi Maret

Tidak ada komentar:

Posting Komentar